Diskriminasi dalam Dunia Kerja
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya manusia,setiap tahunnya ada ribuan bahkan jutaan sarjana-sarjana muda yang berbakat yang di hasilkan dari dunia akademis. Sayangnya ketersediaan lapangan kerja tidak sebanding dengan banyaknya anak-anak muda fresh graduate berbakat ini. Alhasil tidak jarang mereka mencari solusi sendiri,jika kreatif biasanya tidak terjun kedunia kerja konvensional,tapi justru membuka dan menciptakan lapangan kerja baru,jika di Indonesia dirasa sudah "sempit" tidak sedikit yang menjajakan ijazahnya keluar negeri. Yang kurang beruntung terpaksa harus bekerja serabutan yang bahkan tidak sesuai dengan Bidang yang diambil pada saat kuliah dulu.
Banyak hal lucu terjadi,jika kita membaca lowongan pekerjaan di media cetak,biasanya mereka mencari fresh graduate,namun mereka juga mencantumkan syarat yang lucu. "dicari fresh graduate,pengalaman kerja minimal 2 tahun dibidangnya" ,sungguh persyaratan yang mencelakai dan melemahkan para sarjana muda ini sekaligus menjadi bahan tawaan sinis. Baru menyodorkan lamaran sudah ditanyai pengalaman kerja. Aneh.
Oke,tapi saya yakin..jika giat dan beruntung,tentu seoarang S1 yang energic mampu mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Sebetulnya orang-orang berbakat tidak hanya hadir dari kalangan sarjana,ini bukan sebuah cerita tentang melecehkan dunia akademis tapi adalah realita yang sering kita temui dikehidupan sehari-hari. Ada begitu banyak contoh orang-orang sukses yang berhasil menjadikan bakatnya sebagai perpanjangan pintu rejeki bagi sesama dan mereka bukan dari kalangan akademis. Yang ingin saya angkat adalah,bahwa diskriminasi dalam dunia kerja justru lebih banyak dirasakan oleh orang-orang yang tidak memiliki "tiket" akademis. Coba saja lihat lowongan kerja dimedia cetak,hampir semua lowongan pekerjaan mensyaratkan strata jenjang pendidikan,ini sungguh ironi yang menggelikan. Perusahaan seperti di doktrin oleh stigma bahwa strata pendidikan menjadi tolak ukur mutlak dalam rekruitment.
Metode recruitment seperti ini sungguh-sungguh diskriminasi yang kejam, Perusahaan berdalih itu merupakan ketentuan manajemen bla bla bla...padahal diluar negri metode recruitment seperti ini sudah ditinggalkan sejak lama. Mestinya perusahaan tidak lagi menggunakan metode yang dianggap modern tapi justru kalah dari metode kuno. Zaman dulu,recruitment lebih berdasarkan kompetensi seseorang,bukan berdasarkan jenjang pendidikan. ini yang seharusnya dilakukan...melihat kompetensi seseorang saya rasa jauh lebih penting dibandingkan dengan mengabaikan kemampuan seseorang lantaran jenjang pendidikan menjadi tolak ukur utama. Saya rasa para lulusan S1,S2,S3 tidak merasa direndahkan bersaing dengan orang-orang yang tidak seberuntung mereka yang dapat menyelesaikan jenjang pendidikan hingga jenjang yang tinggi,jika merasa seperti itu,maka sia-sialah mengenyam pendidikan setinggi langit.
Ada banyak bentuk diskriminasi yang terjadi,tidak hanya terjadi berdasarkan jenjang akademis,tapi juga terjadi diskriminasi usia,agama,ras,suku,warna kulit,keturunan,bahasa dan banyak lagi....sungguh pemikiran yang kerdil dan menghambat kemajuan.
Banyak hal lucu terjadi,jika kita membaca lowongan pekerjaan di media cetak,biasanya mereka mencari fresh graduate,namun mereka juga mencantumkan syarat yang lucu. "dicari fresh graduate,pengalaman kerja minimal 2 tahun dibidangnya" ,sungguh persyaratan yang mencelakai dan melemahkan para sarjana muda ini sekaligus menjadi bahan tawaan sinis. Baru menyodorkan lamaran sudah ditanyai pengalaman kerja. Aneh.
Oke,tapi saya yakin..jika giat dan beruntung,tentu seoarang S1 yang energic mampu mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Sebetulnya orang-orang berbakat tidak hanya hadir dari kalangan sarjana,ini bukan sebuah cerita tentang melecehkan dunia akademis tapi adalah realita yang sering kita temui dikehidupan sehari-hari. Ada begitu banyak contoh orang-orang sukses yang berhasil menjadikan bakatnya sebagai perpanjangan pintu rejeki bagi sesama dan mereka bukan dari kalangan akademis. Yang ingin saya angkat adalah,bahwa diskriminasi dalam dunia kerja justru lebih banyak dirasakan oleh orang-orang yang tidak memiliki "tiket" akademis. Coba saja lihat lowongan kerja dimedia cetak,hampir semua lowongan pekerjaan mensyaratkan strata jenjang pendidikan,ini sungguh ironi yang menggelikan. Perusahaan seperti di doktrin oleh stigma bahwa strata pendidikan menjadi tolak ukur mutlak dalam rekruitment.
Metode recruitment seperti ini sungguh-sungguh diskriminasi yang kejam, Perusahaan berdalih itu merupakan ketentuan manajemen bla bla bla...padahal diluar negri metode recruitment seperti ini sudah ditinggalkan sejak lama. Mestinya perusahaan tidak lagi menggunakan metode yang dianggap modern tapi justru kalah dari metode kuno. Zaman dulu,recruitment lebih berdasarkan kompetensi seseorang,bukan berdasarkan jenjang pendidikan. ini yang seharusnya dilakukan...melihat kompetensi seseorang saya rasa jauh lebih penting dibandingkan dengan mengabaikan kemampuan seseorang lantaran jenjang pendidikan menjadi tolak ukur utama. Saya rasa para lulusan S1,S2,S3 tidak merasa direndahkan bersaing dengan orang-orang yang tidak seberuntung mereka yang dapat menyelesaikan jenjang pendidikan hingga jenjang yang tinggi,jika merasa seperti itu,maka sia-sialah mengenyam pendidikan setinggi langit.
Ada banyak bentuk diskriminasi yang terjadi,tidak hanya terjadi berdasarkan jenjang akademis,tapi juga terjadi diskriminasi usia,agama,ras,suku,warna kulit,keturunan,bahasa dan banyak lagi....sungguh pemikiran yang kerdil dan menghambat kemajuan.
Pesan untuk diri sendiri :
Jika kelak saya dipercaya Tuhan untuk menjadi seorang yang diberi tanggung jawab untuk perpanjangan pintu rezeki kepada sesama,diskriminasi bukanlah hak saya !!!
0 comments: